Rabu, 04 Februari 2009

Pernyataan Sikap IMPJ atas Penyaluran Pupuk Bersubsidi di Habinsaran

Kami, Ikatan Muda-Mudi Parsoburan SeJabodetabek (IMPJ) sangat mendukung segala upaya pembangunan pertanian di Kecamatan Habinsaran. Oleh karena itu, kami MENOLAK dan MENGECAM segala bentuk penyelewengan dan segala bentuk pelanggaran atas penyaluran pupuk bersubsidi di wilayah Habinsaran.

Bahwa berdasarkan kuota dari PT PUSRI, Habinsaran mendapat jatah pupuk bersubsidi sebanyak 200 (dua ratus) ton untuk satu kali musim tanam, namun dari data yang kami dapatkan sampai dengan saat ini, pupuk bersubsidi yang telah disalurkan hanya sebanyak 30 (tiga puluh) ton. Padahal, saat ini adalah masa tanam padi (marsuan) yang tentu saja sangat membutuhkan pupuk dan harga pupuk yang stabil. Seharusnya dengan program pupuk bersubsidi dapat menetrasi harga pupuk di pasar, nyatanya saat ini harga pupuk sangat tidak terjangkau daya beli masyarakat Habinsaran.

Oleh karena itu, kami sebagai putra-putri Habinsaran yang menginginkan suatu perubahan dan perbaikan pembangunan pertanian Habinsaran, dengan ini MENYATAKAN SIKAP, antara lain:

1. Menginginkan adanya transparansi (keterbukaan) penyaluran pupuk bersubsidi di Habinsaran dan mengharapkan adanya bukti atau laporan yang diberikan/diumumkan secara terbuka kepada masyarakat Habinsaran baik secara periodik maupun secara insidentil sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel.

2. Menolak segala bentuk penyelewengan dan pelanggaran penyaluran pupuk bersubsidi di Habinsaran yang diduga dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dengan menyalahgunakan wewenang (abuse of power) dan mendukung langkah Bapak Camat untuk menindak dan memproses secara hukum oknum pejabat dan pengusaha (perorangan) yang terlibat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Korupsi sebagai bentuk tindakan memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain.

3. Apabila sampai dengan akhir Desember ini, jatah pupuk bersubsidi tersebut tidak disalurkan, kami siap berdiri di depan menolak dan akan melaporkan penyelewengan dan pelanggaran-pelanggaran tersebut baik secara administratif (tata ketatanegaraan) lebih tinggi dengan melaporkan tindakan tersebut ke Gubernur Sumatera Utara. Apabila juga kami tidak mendapat tanggapan dan/atau penyelsaian sebagaimana mestinya, kami siap melanjutkan ke tingkat Presiden (pusat).

4. Keadilan dan kepastian sangat kami harapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan Habinsaran, sebagaimana harapan Negara Republik Indonesia untuk mewujudkan Negara yang makmur dan berkeadilan (welfare states). Klarifikasi, tanggapan, dan segala transparansi dari Bapak Camat Habinsaran sangat kami harapkan, guna menghindari adanya ekses-ekses politik dan hukum di kemudian hari.

5. Besar harapan kami agar masalah-masalah tersebut dapat segera dituntaskan demi kelangsungan dan kesinambungan pembangunan di Habinsaran.

Demikianlah pernyataan sikap ini kami sampaikan sebagai pernyataan sikap resmi dari IMPJ, atas perhatian dan kerjasamanya, kami mengucapkan terima kasih.

Untuk dan atas nama
IKATAN MUDA/I PARSOBURAN SEJABODETABEK (IMPJ)


Maddenleo T Siagian, S.H./Juliardos JM Lubis, S.Si

Senin, 02 Februari 2009

WANITA BATAK DIMATA ADAT DAN HUKUM

Tulisan ini sebagai refleksi terhadap perlakuan diskriminatif terhadap wanita dalam adat batak yang berlangsung dari nenek moyang kita, dan sampai sekarang masih terasa dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat batak. Saya dalam tulisan ini sengaja mengutip beberapa yurisprudensi (putusan pengadilan) sebagai alat (tool) untuk memperkuat tuduhan penulis tersebut, yang kita akui sebagai hukum positif yang mengadopsi hukum tidak tertulis (the living law) yang berkembang di masyarakat Batak (Hukum Adat Batak).

Makna “anak” dalam ungkapan “Anakhon hi do hamoraon di au”, lebih condong dialamatkan pada keberhasilan anak laki-laki semata, karena diharapkan sebagai “anak siboan marga” (penerus marga) . Bahkan dulu, anak perempuan kurang didorong untuk melanjutkan studi misalnya ke perguruan tinggi. Pemikiran bahwa anak perempuan nantinya akan menjadi milik orang (keluarga suami), sehingga keberhasilannya kurang mengharumkan nama keluarga. Disamping itu, ada beberapa perlakuan diskriminatif terhadap wanita batak yang menjadi sorotan saya dalam tulisan ini.

Wanita Dalam Perkawinan Batak
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 673/Pdt/G/1997/PAJS, tanggal 3 Agustus 1997, bahwa Ny. Evelyn Rosmiati Tambunan memenangkan perkara perceraian yang diajukan suaminya dan memerintahkan suaminya menyerahkan kedua anak yang selama ini dikuasainya. Hal yang sama juga diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dengan Nomor Perkara 90/Pdt/1998/PTA.JK, tanggal 23 Maret 1999. Namun, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 235 K/Ag/1999, perwalian anak yang sebelumnya jatuh ke tangan Ny. Evelyn Rosmiati Tambunan menjadi tidak ada kepastian. Dengan demikian pihak keluarga suami masih mengasuh kedua anaknya dan tidak pernah memberitahukan keberadaan anaknya dan bahkan mengancam Ny. Evelyn Rosmiati Tambunan.

Putusan ini sangat menarik, Ny. Evelyn Rosmiati Tambunan dimenangkan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, walaupun dimentahkan lagi di Mahkamah Agung. Secara hukum Ny. Evelyn Rosmiati Tambunan berhak atas pengasuhan anaknya, namun kenyataan dalam adat batak adalah salah jika si istri menuntut hak mengasuh anak karena masih ada suami (mantan suami) sebagai ayah bahkan kalau dia meninggal masih ada kerabatnya yang mempunyai posisi melebihi kekuasaan si istri terhadap anak. Sangat tragis memang, anak yang dilahirkan dari rahimnya harus dipisahkan hanya karena kuatnya sistem kekerabatan marga, seakan-akan si istri hanya dijadikan “sapi perah” yang setelahnya dibuang. Adat Batak malah melegalisasikan tindakan suami yang mempertahankan anak dengan cara apa pun dan selalu memposisikan istri pada kondisi yang selalu salah.

Pertanyaan, mengapa demikian? Sistem kekerabatan adat Batak menganut sistem patrilineal, istri melebur kedalam sistem kekerabatan suami atau dengan kata lain dengan pembayaran sinamot, istri telah dibeli (kalo boleh saya katakan “dimiliki”). Dengan pembelian ini hubungan si istri dengan kerabatnya menjadi putus. Hal demikian juga berimbas pada anak, anak mutlak mengikuti marga ayahnya. Jika terjadi putusnya perkawinan (perceraian), maka anak akan mengikuti ayahnya dan jika ayahnya meninggal kerabat suami berhak menuntut hak pengasuhan anak.

Wanita Dalam Sistem Warisan Adat Batak
TD Pardede telah meninggal dunia pada tanggal 18 November 1991 di Medan. Dia memiliki anak 3 (tiga) orang laki-laki dan 6 (enam) orang wanita. Nilai kekayaannya ditaksir bernilai sekitar 1 triliun rupiah. Sehari setelah TD Pardede dimakamkan, ada surat wasiat yang dibacakan dihadapan pimpinan unit-unit usaha, pengurus yayasan dan komisaris T.D. Pardede Holding Company yang meliputi lima kelompok usaha. Dalam surat wasiat dinyatakan bahwa semua harta adalah milik keluarga dan pelaksanaan wasiat diserahkan kepada 3 (tiga) dari putri almarhum. Namun, salah satu anak dari TD Pardede tidak setuju dengan surat wasiat tersebut, dan oleh karenanya mereka sepakat untuk menyelesaikan kasus tersebut dihadapan pengadilan.

Pada tanggal 21 Maret 1992, telah berlangsung suatu musyawarah para pemimpin marga-marga di Balige. Musyawarah tersebut menyimpulkan bahwa yang menjadi ahli waris dan penerus keturunan dari almarhum TD Pardede adalah ketiga prianya, sedangkan para anak wanita (6 orang) telah menjadi bagian dari kelompok kekerabatan suami mereka, jadi mereka bukanlah ahli waris melainkan hanya menerima pemberian dari saudara laki-lakinya. Kemudian wakil-wakil dari masyarakat adat itu mendatangi Mahkamah Agung dan menyampaikan permohonan supaya sengketa warisan TD Pardede diselesaikan menurut hukum adat batak (T.O. Ichromi, Hukum Sebagai Alat Rekayasa untuk Mewujudkan Perubahan Sosial, dalam Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, PT. Eresco, Bandung, 1995).

Dalam kasus ini, bukan nilai nominal warisan yang jadi sorotan, akan tetapi lebih pada bagaimana cara pembagian nominal tersebut. Secara kasat mata dan logika berpikir, seharusnya semua anak tentunya mendapatkan warisan dari orang tuanya secara prorata (sama). Namun, tidak demikian dengan pemimpin marga-marga yang memandang anak perempuan tidak dikenal dalam warisan batak dan yang lebih parah lagi bahwa mereka telah mengabaikan surat wasiat yang dibuat sewaktu Almarhum TD Pardede masih hidup, tanpa melihat niat baik Almarhum TD Pardede, yang berpikir lebih modern dan dengan rasa keadilan yang mendalam, beliau telah membagi harta kepada semua anaknya. Pemikiran beliau sangat sederhana, jika suatu saat dia mininggal semua anaknya dapat pembagian warisan secara merata dan dengan surat wasiatnya porsi pembagian berdasarkan adat batak seharusnya dikesampingkan, demi kepentingan pemberi wasiat. Namun kembali, salah satu anaknya menolak surat wasiat tersebut dengan menyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikannya secara hukum. Pengadilan lebih mendengarkan pemimpin-pemimpin marga batak daripada rasa keadilan dan asas persamaan yang sesungguhnya.

Selain itu, kita juga dapat melihat putusan Perkara No. 506 K/Sip/1968, tanggal 22 Januari 1969, yang pada pokonya menyatakan anak perempuan di Tapanuli Utara tidak berhak mewarisi harta pusaka atas ayahnya. Sedangkan di Tapanuli Selatan dikenal istilah “Lembaga Holong Ate” yaitu pemberian sebagian dari harta warisan menurut rasa keadilan kepada anak perempuan apabila seorang meninggal dunia tanpa keturunan anak laki-laki (Perkara No. 528 K/Sip/1972, tanggal 17 Januari 1972).

Inilah bentuk “konspirasi” adat dari nenek moyang kita sampai sekarang, yang tertuang dalam aturan-aturan baku adat batak/patrilineal (lingkungan sosial otonom, meminjam istilah Sally Falk Moore) yang secara terus-menerus kita ikuti dan tanpa sadar kita terjerumus dalam suatu doktrinasi negatif. Posisi perempuan dikondisikan dibawah dominasi kaum pria, bahkan sama sekali tidak diberikan suatu porsi dalam adat sehari-hari, dan malah cenderung sebagai pelengkap pria saja.

Persamaan Wanita dengan Pria Dalam Hukum Nasional
Convention the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, tanggal 18 Desember 1979, yang diratifikasi oleh Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Dalam Pasal 2 disebutkan “Negara peserta konvensi mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap wanita, dan untuk tujuan itu berusaha: (a) mencantumkan asas persamaan antara pria dan wanita dalam Undang-Undang Dasar Nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat lainnya, jika belum termasuk di dalamnnya dan untuk menjamin realisasi praktis dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat; (b) membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturan lainnya termasuk sanksi-sanksinya dimana perlu, melarang semua diskriminasi terhadap wanita; (c) membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus perlakuan diskriminasi terhadap wanita oleh setiap orang, organisasi atau perusahaan; (d) membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan, dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap perempuan”.

Ketentuan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 51 ayat (1) “seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tannggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama”; ayat (2) “setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak”; ayat (3) “setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Amanat konvensi dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 telah jelas menghapuskan segala bentuk diskriminasi, dengan mengedepankan asas persamaan dalam hukum (eguality), dengan pengertian juga dalam adat sebagai hukum yang tidak tertulis. Asas mana telah diterima di seluruh dunia sebagai asas yang berlaku universal. Tidak hanya itu, asas keadilan sesungguhnya mengilhami asas persamaan, dengan demikian kita akan mampu melihat diskrimasi itu bukan merupakan takdir yang tidak bisa dilawan kaum perempuan.

Dengan pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan Undang-undang Hak Asasi Manusia tersebut seharusnya para sesepuh dan penatua Batak berpikir ulang dan mengkaji asas dan prinsip yang diskriminatif itu, sehingga persamaan antara wanita dan pria dikedepankan baik dalam keluarga, adat, dan dalam semua kehidupan sosial batak. Berat memang dan bahkan dilematis jika kita membuat suatu perubahan yang sangat revolusif, bahkan tidak sedikit yang menolak ide ini. Namun, pro dan kontra kita jadikan sebagai kazanah untuk memperkaya ide pemikiran dan menemukan suatu kebenaran yang hakiki tanpa merugikan bahkan memojokkan yang lain. Semua elemen harus duduk bersama untuk membicarakannya, sehingga hasil yang dicapai memuaskan semua pihak.

Jumat, 30 Januari 2009

SKB 4 MENTERI TERBIT, SIAPA YANG DIRUGIKAN???

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, dalam wawancara Trans7 pada 21 November 2008 mengatakan diterbitkannya SKB 4 Menteri sebagai langkah pemulihan ekonomi dalam kondisi darurat seperti sekarang ini. Namun, dalam wawancara lain pengamat ekonomi Rizal Ramli pada hari yang sama membantah pernyataan tersebut dan malah menuding langkah dimaksud sebagai ajang cuci tangan pemerintah. Sebelumnya, Erman Suparno pernah mengatakan diterbitkannya SKB 4 Menteri ini, juga telah mendapat apresiasi dari kalangan internasional bahwa Pemerintah Indonesia cepat mengantisipasi kemungkinan buruk terhadap pekerja atas krisis keuangan global (www.kabarindonesia.com).

Buruh sangat reaktif, keberatan, dan bahkan menuntut agar SKB 4 Menteri segera dicabut. SKB 4 Menteri lebih banyak merugikan pihak buruh dan mengindikasikan pemerintah tidak lagi memihak buruh dan lebih pada suatu bentuk penindasan terhadap kaum buruh yang lemah. Namun, pemerintah menilai dalam menghadapi dampak krisis perekonomian global, pemerintah harus melakukan berbagai upaya agar ketenangan berusaha dan bekerja tidak terganggu (Pasal 1 SKB 4 Menteri). Dengan demikian, SKB 4 Menteri ini diperlukan untuk mengatur pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan perekonomian global. Kalau demikian, siapa yang dirugikan?

SKB 4 Menteri dan Masalahnya

SKB 4 Menteri keluar berdasarkan peraturan PER.16/MEN/X/2008, 49 Tahun 2008, 992.1/M-IND/10/2008, dan 39/M-DAG/PER/10/2008 tertanggal 22 Oktober 2008, yang ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang efektif berlaku sejak ditetapkan.

Ternyata, SKB 4 Menteri tersebut masih mengandung berbagai permasalahan antara lain, pertama, dalam SKB 4 Menteri tersebut diisyaratkan bahwa untuk mengantisipasi gejolak ekonomi Negara Indonesia termasuk di daerah, maka upah minimum sebagai salah satu komponen dalam ketenagakerjaan harus dibahas secara “BIPARTIT” (Pasal 2 huruf a poin 2). Bahkan, Fahmi Idris mendalilkan pemerintah kini tidak lagi “ikut campur” dalam negosiasi UMR terutama dalam masa krisis global, tapi kalau kondisi ekonomi normal, negosiasi soal UMR akan dilakukan secara tripartie (www.buruhmenggugat.or.id). Ini jelas merupakan sebuah pukulan telak terhadap kaum buruh, mengingat upah akan diserahkan sepenuhnya dalam mekanisme pasar. Dengan kata lain, pemerintah tidak lagi memiliki peran apa-apa dalam menentukan komponen upah minimum tersebut. Padahal, Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) telah menyebutkan secara jelas bahwa komponen upah minimum menjadi kewenangan penuh pemerintah untuk menetapkannya (Pasal 88 ayat 2 dan Pasal 89 ayat 3), berdasarkan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi/kabupaten/kota masing-masing (Pasal 21 dan Pasal 30 Kepres No. 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan). Kecenderungannya, SKB 4 Menteri ini menjadi bentuk intervensi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, yang dilatarbelakangi usulan pengusaha nasional. Kalau demikian, percuma saja dibentuk Dewan Pengupahan Kota/Kabupaten atau Provinsi, kalau toch, penetapan upah minimum buruh ditentukan SKB 4 Menteri ini!

Kedua, Dalam SKB 4 Menteri dikatakan bahwa Gubernur dalam menetapkan upah minimum mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Penggunaan “pertumbuhan ekonomi nasional” sebagai suatu standar sangat membatasi bahkan mengesampingkan komponen penentuan upah minimum. Perlu diingat pertumbuhan ekonomi nasional dapat dicapai jika tercipta optimisme bisnis (pasar), peningkatan daya beli masyarakat, dan peningkatan konsumsi produk domestik. Nah, apabila kenaikan upah minimum dipatok 6 % (enam persen) sesuai dengan pertumbuhan ekonomi, sementara kebutuhan hidup layak akibat krisis ekonomi internasional terus melambung jelas semakin memberatkan buruh. Efek domino dengan menghambat kenaikan upah buruh tersebut, pemerintah justru menciptakan ketidaknyamanan iklim bisnis dan mengurangi daya beli masyarakat sehingga menurunkan konsumsi produk domestik. Kondisi demikian tentu akan menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional dan akan berdampak pada kenaikan upah minimum. Kuat dugaan penggunaan standar ini pesanan pengusaha guna menghindari tuntutan buruh yang menurut persepsi pengusaha sangat memberatkan keuangan internal pengusaha.

Ketiga, secara hukum ketatanegaraan dan hierarki urutan perundang-undangan jelas bahwa SKB 4 Menteri tersebut bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 10/2004”). Asas hukum lex superior derogate inferiori mengharuskan UU Ketenagakerjaan mengabaikan SKB 4 Menteri tersebut. Apabila Negara Indonesia masih konsisten sebagai negara hukum (rechtstaats) sebagaimana tersurat dalam konsitusi, maka SKB 4 Menteri tersebut sudah seharusnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Bahkan kalau kita teliti, SKB 4 Menteri tidak dikenal sebagai sumber peraturan perundang-undangan dalam UU 10/2004. Secara ketatanegaraan produk SKB 4 Menteri ini sangat blunder bahkan mencederai supremasi hukum ketatanegaraan. Lebih elegan jika pemerintah mengamendemen UU Ketenagakerjaan, khususnya yang mengatur masalah upah, meski perubahan penentuan upah tersebut masih akan mengundang perdebatan.

Keempat, kurangnya sosialisasi pemerintah sebelum diterbitkannya SKB 4 Menteri tersebut. Alasan klasik pemerintah adalah keadaan darurat yang memerlukan langkah cepat. Sekali lagi, penentuan nasib jutaan buruh tidak seharusnya ditentukan dalam hitungan hari. Seharusnya pemerintah harus mengajak buruh dan pengusaha untuk duduk bersama dan menampung aspirasi dan kepentingan masing-masing sebelum mengambil keputusan, sehingga peraturan yang dikeluarkan memenuhi unsur sosiologis serta tidak kelihatan tergesa-gesa dan cenderung dipaksakan (by force).

Penolakan Pemberlakukan SKB 4 Menteri

Hampir setiap hari kita melihat di televisi dan membaca di koran berita tentang buruh, serikat buruh bahkan yang bergabung dalam aliansi buruh melakukan aksi demo, tidak hanya di Jakarta (pusat), tetapi juga di berbagai daerah menggelar unjuk rasa menolak diterbitkannya SKB 4 Menteri ini. Mulai aksi damai sampai anarkis bercampur mewarnai unjuk rasa tersebut menandakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Penolakan pemberlakuan SKB 4 Menteri ini tidak hanya datang dari kalangan buruh, tetapi juga datang dari pemerintah daerah/kota. Pemkab Jember, terkait masalah pengupahan, tidak akan menerapkan SKB 4 Menteri. Walikota Bandung Dada Rosada mengatakan Pemkab Bandung telah memutuskan untuk mengabaikan SKB 4 Menteri. Di Solo, selain menggelar unjuk rasa di Bunderan Gladak, Jalan Slamet Riyadi, para buruh juga membagi-bagikan pamflet kepada pengguna jalan dan menggelar happening art yang menggambarkan penderitaan para buruh, apabila SKB tetap disahkan. Sedangkan di Karanganyar, para buruh menggelar unjuk rasa dengan mendatangi pemkab setempat dan meminta dukungan agar pemkab setempat mendukung aksi penolakan SKB 4 Menteri.

Hak Uji Material SKB 4 Menteri

Secara politik, mulai turun ke jalan sampai mendatangi istana telah dilakukan para buruh untuk menolak pemberlakuan SKB 4 Menteri, namun seperti kebiasaan sebelumnya pemerintah enggan mengoreksi keputusan yang telah dibuat. Satu-satunya cara tentu mengajukan permohonan hak uji material ke Mahkamah Agung, yang secara konsitusi berkewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang (Pasal 11 ayat 2 (b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Buruh harus rela berkorban dan bersabar melawan ketidakadilan yang terlegalisasi melalui SKB 4 Menteri tersebut. Tentu tidak hanya kepuasan sementara yang perlu dicari, namun supremasi dan penghormatan hukum perlu dijunjung sesuai dengan porsi konstitusi. Akhirnya konstitusi akan memberikan kebenaran material kepada semua pihak, namun dalam proses peradilannya kita sangat mengharapkan suatu peradilan yang fair dan bersih, tanpa ada intervensi dari siapa pun termasuk pemerintah yang berkuasa. Demikian juga pemerintah, harus legowo mengakui kesalahan dan mau memperbaiki SKB 4 Menteri jika nanti buruh memenangkan gugatan uji material. Melalui gugatan uji material kebenaran material akan tercapai dan hak-hak dasar buruh sebagaimana telah diberikan UU Ketenagakerjaan dan peraturan ketenagakerjaan lainnya tidak boleh diabaikan.

Sebagai penutup, mengutip pendapat Hugo Chaves yang berani menentang siapa saja yang mau menyengsarakan rakyatnya, hingga dia sampai mengatakan ” WALAU SAYA SAMPAI MASUK NERAKA SEKALIPUN, SAYA AKAN TETAP MEMBELA RAKYATKU”.